Fenomena Quite Quitting yang Sering Terjadi Pada Pekerja Gen Z

Fenomena quiet quitting lagi hits banget nih, terutama di kalangan Gen-Z. Buat yang belum tau, Gen-Z ini adalah generasi yang lahir antara akhir 90-an hingga 2000-an, dan sekarang mereka udah mulai banyak menduduki berbagai posisi di perusahaan. Tapi, nggak sedikit dari mereka yang memilih untuk quitting quietly, alias berhenti secara diam-diam.

Kenapa sih banyak Gen-Z yang memilih jalan ini? Simpel aja, realita kerja sering kali nggak sesuai ekspektasi. Siapa yang nggak mau kerja santai, asik, nggak lembur, dan digaji tinggi? Sayangnya, banyak dari kita harus menghadapi lembur yang nggak ada habisnya, kerja keras yang nggak dihargai, bos yang super galak, atau gaji yang nggak sesuai. Di sinilah quiet quitting jadi pilihan.

Jadi, Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting sebenarnya bukan berarti kita bener-bener resign, tapi lebih ke berhenti ngasih effort ekstra di tempat kerja. Contohnya, nggak lagi bales email di luar jam kerja atau akhir pekan. Ini adalah respon dari budaya kerja yang menuntut kita untuk terus lembur dan ngelakuin tugas yang seringkali di luar deskripsi pekerjaan. Dengan quiet quitting, kita menjaga keseimbangan hidup alias work-life balance dan juga kesehatan mental.

Ciri-Ciri Quiet Quitting

Nah, gimana caranya kita tau kalau ada yang lagi quiet quitting? Berikut beberapa tandanya:

- Pulang kantor on time, nggak ada cerita lembur.

- Sering skip rapat, terutama yang dirasa nggak penting.

- Produktivitas mulai menurun.

- Nggak ada lagi semangat atau motivasi yang membara.

- Fokus buat kerja yang sesuai porsi aja, nggak lebih.

Tren Quiet Quitting di Kalangan Gen-Z

Tren ini beneran viral sejak Zaid Khan, seorang insinyur dari New York, bahas ini di TikTok. Dalam videonya, dia bilang, "Kamu masih ngerjain tugasmu, tapi nggak lagi ngikutin hustle culture yang bikin kerjaan jadi seluruh hidup kita." Di Amerika Serikat, tren ini muncul sebagai reaksi dari kelelahan akibat hustle culture.

Menurut Bunga Imtyaz, penasihat karir di Reeracoen Indonesia, pandemi Covid-19 juga jadi faktor besar kenapa banyak orang mulai sadar pentingnya work-life balance. Mereka lebih peduli soal kesehatan mental, dan quiet quitting jadi salah satu cara untuk mencapainya.

Penyebab Quiet Quitting

Ada beberapa alasan kenapa Gen-Z lebih milih buat quiet quitting:

- Lingkungan Kerja Toxic: Nggak ada yang betah di tempat kerja yang nggak sehat, entah itu karena bos yang otoriter, rekan kerja yang nggak suportif, atau nggak ada kesempatan berkembang.

- Minim Apresiasi: Kalau kerja keras kita nggak dihargai, lama-lama motivasi juga bakal menurun. Siapa sih yang betah kerja di tempat yang kayak gini?

- Beban Kerja Terlalu Tinggi: Kebanyakan kerjaan bisa bikin kita burn out. Bukannya jadi lebih produktif, malah jadi ogah-ogahan.

- Menolak Hustle Culture: Banyak dari kita yang mulai sadar kalau hidup nggak cuma soal kerja. Kita pengen bisa menikmati hidup di luar pekerjaan.

- Cari Work-Life Balance yang Ideal: Kita nggak mau hidup cuma buat kerja doang. Ada kehidupan pribadi yang juga harus dijaga.

Dampak Quiet Quitting

Fenomena ini punya sisi positif dan negatif. Di satu sisi, quiet quitting membantu kita menjaga keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Kita jadi nggak mudah stres dan bisa menikmati hidup di luar kerjaan. Tapi di sisi lain, buat yang kurang jago time management, ini bisa bikin produktivitas menurun, yang akhirnya merugikan perusahaan.

Cara Menghadapi Quiet Quitting

Lalu, gimana perusahaan harus menghadapi tren ini?

- Lawan Budaya Kerja Eksploitatif: Hustle culture yang bikin kita kerja terus-menerus harus mulai ditinggalkan. Budaya kerja yang lebih manusiawi harus diterapkan, terutama buat kita yang masih muda.

- Berikan Apresiasi: Kurangnya apresiasi bisa bikin kita demotivasi. HRD harus mulai fokus untuk memberikan pengakuan dan penghargaan yang layak, entah lewat platform tertentu atau cara sederhana.

HRD punya peran besar buat menjaga kesejahteraan karyawan dan bikin mereka betah. Memahami quiet quitting dan mulai susun strategi buat menghadapinya jadi langkah awal yang penting. Yuk, mulai perhatikan keseimbangan hidup kita!